وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun, Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur”. (Ali Imran: 144)
* Ayat ini diturunkan Allah untuk mengabadikan pelajaran setelah terjadinya perang Uhud. Dalam perang ini Nabi saw diissukan terbunuh hingga membuat sebagian kaum muslimin kehilangan semangat dan meninggalkan medan perang seraya berkata, tidak ada gunanya lagi kita berperang melawan kaum musyrikin karena Nabi saw sudah tiada.
* Tetapi tidak semua kaum muslimin kehilangan semangat. Masih banyak sahabat yang bertahan dan mengingatkan kesalahan mereka, diantaranya Anas bin Nadhar yang mengingatkan mereka: “Apa yang akan kalian perbuat dengan kehidupan sepeninggal Nabi saw? Bangkitlah lalu matilah memperjuangkan apa yang telah membuat Rasulullah saw mati”. Kemudian ia menghadapi kaum musyrikin dan bertemu Sa’ad bin Muadz lalu berkata: “Wahai Sa’ad, duhai indahnya aroma surga. Sungguh aku mendapatinya di dekat Uhud”. Kemudian ia bertempur hingga syahid”. (Zadul Ma’ad, 3/198, 208).
* Sayid Quthb mencatat salah satu pelajaran dari peristiwa dan ayat ini:
“Dakwah jauh lebih besar dan lebih kekal ketimbang dai. Karena para dai boleh datang dan pergi sedangkan dakwah tetap abadi sepanjang generasi dan abad. Para pengikut dakwah pun tetap bersambung dengan sumbernya yang pertama, yang mengutus para rasul dengan membawa dakwah ini. Dia yang Maha Suci tetap abadi menjadi tujuan orang-orang beriman. Tidak boleh seorang pun diantara mereka yang berbalik sepeninggal dai dan murtad dari hidayah Allah. Allah Maha Hidup tidak pernah mati”. (Tafsir fi Zhilalil Quran, 2/443, Robbani press).