Catatan untuk Para Pewaris Dakwah

Oleh: Ustadz Wildan Hakim

, sepulang dari pengembaraan ilmunya di tanah suci, memulai langkah perintisan ini pada tahun 1980. Saat itu usianya genap 33 tahun. Namun sesungguhnya, fondasi perjuangan ini telah beliau siapkan jauh sebelumnya—sejak usia 27 tahun ketika masih menjadi mahasiswa di Madinah. Di sanalah benih generasi awal ta’sis mulai beliau semai, dengan visi yang menembus batas zaman.

Pada rentang usia 34 hingga 36 tahun (1981 -1983), Abah berada dalam tarbiyah yang keras: Madrasah Yusuf-nya rezim Soeharto yang represif. Namun justru di sanalah ruh perjuangan ditempa dan diuji. Hingga akhirnya, menjelang pertengahan tahun 1984, di usia 37 tahun, Abah secara formal mendirikan jamaah ini. la tidak sendiri. Bersamanya hadir tiga sahabat seperjuangan: Habib Salim, KH. Abdussyakur, dan Ust Baharmus—sahabat setia, karib dalam cita, sebagai dewan pendiri yang tercatat dalam sejarah.

Memang, mereka tidak banyak terlibat dalam dinamika ta’sis maupun tanzhim, sebab ada yang kembali ke KSA untuk menuntaskan studi, ada pula yang tersita oleh amanah keluarga dan pesantren, atau pun kesibukan lain yang tak bisa dielakkan. Namun, catatan sejarah tetap menyematkan mereka sebagai bagian dari pilar awal pendirian.

Abah juga pernah menyebut tiga nama lain yang sejatinya telah beliau siapkan sejak di Madinah. Mereka adalah para ajengan: satu dari sebuah pesantren di Tasikmalaya, dua lainnya dari Bandung Raya. Ketiganya adalah murid-murid langsung beliau di tanah suci. Sayangnya, ketika Abah berada di Madrasah Yusufkan, keluarga besar mereka melarang keterlibatan mereka lebih jauh, sebab trauma akan pendekatan represif rezim saat itu masih membekas kuat.

Akhirnya, setelah bermusyawarah dengan para masyayikh dan mentor spiritualnya, Abah memutuskan untuk melibatkan tiga sahabat tadi—Habib Salim, KH. Abdussyakur, dan Ust. Baharmus—sebagai dewan pendiri. Maka berdirilah jamaah ini dengan semangat ijtihad dan keberanian menembus ketakutan zaman.

Dan aku…Aku hanyalah putra biologis dari . Pertanggungjawabanku di hadapan sejarah tentu jauh lebih ringan dibanding kalian—putra-putra ideologisnya.

Kalianlah yang akan dihisab oleh Allah dengan hisab yang lebih besar, karena warisan ini bukan sekadar amanah organisasi—ia adalah warisan perjuangan, darah, dan air mata.

Tolong jaga titipan ini. Jangan habiskan tenagamu untuk berselisih dan bertikai. Kata Abah, “Jika para da’i lebih banyak bertengkar daripada berdakwah, maka yakinlah: yang diperebutkan adalah urusan dunia, bukan surga.”

Jadilah kalian generasi penerus perjuangan, bukan generasi penikmat hasilnya. Perjalanan ini masih panjang. Jangan tertidur di zona nyaman, jangan terlena di rest area. Bismillah.

Aku percaya, para pemangku amanah hari ini mampu memegang amanah itu dengan jujur dan istiqamah.

Kuatkan mereka dengan at-tha’ah dan an-nushrah. Dukung mereka dengan doa, dengan nasihat, dan dengan cinta. Karena perjuangan ini bukan milik satu nama, tapi milik generasi…dan milik umat.

Baarakallahu fiekum.

Semoga Allah memberkahi langkah kalian dan menjaga jejak-jejak para pendahulu yang telah menanam benih dengan darah dan keyakinan.***

Tags: ,