“Walladzinat taba’uhum bi ihsanin…” Mereka mewariskan Islam secara utuh kepada generasi tabi’in. Diberi penilaian oleh Allah “bi ihsanin”. Mereka melakukan dengan ihsan, yaitu utuh.
Semua ajaran Islam diwariskan secara sempurna kepada generasi tabi’in. Para sahabat mewariskan nilai Islam melalui proses tarbiyah.
Sedangkan kita pada zaman sekarang, tidaklah mewariskan Islam secara keseluruhan, namun hanya sebagian. Terutama nilai-nilai dan semangat perjuangan yang kita wariskan. Karena saat ini kita berkolaborasi dengan banyak pihak yang juga melakukan pewarisan. Misalnya Lembaga Pendidikan Islam.
Untuk itu, jika ada di antara kita yang dulu pernah membina dan saat ini berhenti membina, hendaknya merasa malu dengan para sahabat Nabi saw. Mereka telah memberi contoh dengan sempurna.
Bahkan pewarisan yang sukses dari para sahabat ini, berlangsung sampai tiga generasi.
“Khairu hadzihi ummati… Sebaik umat ini adalah zaman di mana aku diutus, kemudian generasi berikutnya (tabi’in), kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in)”.
Demikian sempurna pewarisan Islam yang dilakukan generasi sahabat. Hendaknya kita bercermin kepada generasi terbaik umat ini.
Para sahabat mewariskan Islam secara tuntas. Mereka terus bergerak, melaksanakan tugas sampai akhir hayat. Tidak ada yang berhenti di tengah jalan.
Kedua,
Mari belajar dari Abu Ayub Al Anshari. Bagaimana semangat perjuangannya yang tak pernah padam.
Saat ini di antara kita sudah banyak yang istirahat (membina) sebelum waktunya. Ustadz Hilmi Aminuddin menyatakan, boleh saja kita singgah di rest area, namun harus segera berjalan lagi.
Jangan terlalu lama istirahat. Banyak di antara kita yang nyaman di rest area, dan tidak melanjutkan perjalanan.
Sebab turunnya surat Al Baqarah 195 dikisahkan oleh Abu Ayub Al Anshari. Saat itu sebagian sahabat ingin istirahat sebelum waktunya. Allah tegur dengan istilah “wala tulqu bi aidikum ilat tahlukah”.
Imam Al Qurthubi menyatakan, “Abu Ayub sejak turunnya ayat ini bangkit dan terus berjihad sampai dimakamkan di Konstantinopel”.
Bagi yang berpikir ingin istirahat sebelum waktunya, hendaknya belajar dari turunnya ayat ini. Bagaimana Abu Ayub gumregah bangkit dan terus berjihad sampai wafat, dan dimakamkan di Turki.
Ketiga,
Sebagian di antara kita menyatakan tidak bisa membina. Bukan tidak mau, namun tidak bisa.
Sebenarnya ada cara yang bisa dilakukan oleh mereka yang merasa tidak bisa membina, yaitu dengan cara kolaboratif.
Pembinaan atau tarbiyah dilakukan secara kolaboratif. Satu kelompok pembinaan dibina secara kolaborasi.
Ada yang menjadi “ustadz” untuk mengisi forum pembinaan. Ada yang bertugas menemani, ada yang bertugas mengelola forum dan kegiatan, dan lain sebagainya.
Biasanya, mereka yang tidak membina karena beberapa alasan. Di antaranya karena merasa tidak bisa membina, atau karena sibuk sehingga tidak punya waktu. Padahal sibuk adalah alasan orang munafik, “syaghaltna amwaluna wa ahluna…”
Orang munafik beralasan sibuk untuk tidak mau berjuang. Hendaknya kita khawatir menggunakan alasan sibuk ini.
Keempat,
Mari tadabur untuk memotivasi diri dalam semangat membina. Allah menyatakan, “La tukallafu illa nafsaka”. Ayat ini ditujukan kepada Nabi saw.
لَا تُكَلَّفُ اِلَّا نَفْسَكَ
“Tidaklah engkau dibebani (tanggung jawab), kecuali (yang terkait) dengan dirimu sendiri” (QS. An Nisa : 84).
Dalam Tafsir Jalalain, dijelaskan “Jangan kamu pedulikan mereka yang tidak mau ikurt bersama kamu”.
Menjelang selesai perang Uhud, Abu Sufyan menyampaikan tantangan kepada umat Islam.
“Wahai Muhammad, tahun depan kita akan berperang”, ujar Abu Sufyan.
Nabi menoleh kepada Umar ra, “Jawablah wahai Umar”.
“Bagaimana saya menjawab?” tanya Umar.
Nabi menjawab, “Katakan, na’am. Ya tahun depan kita akan berperang:.
Menjelang tahun depan tersebut, Abu Sufyan melakukan manuver besar-besaran. Karena khawatir citra Quraesy jatuh gegara dianggap tidak berani berperang.
Dengan pasukan yang besar, mereka berjalan. Lalu kembali lagi. Agar umat Islam gentar.
Selanjutnya Abu Sufyan mengutus Nu’aim bin Mas’ud masuk ke kalangan umat Islam. Tujuannya untuk melemahkan semangat jihad umat Islam dalam perang Badar (yang kedua).
Sebagian sahabat di Madinah terkena ‘mental’, sehingga kurang bersemangat diajak berperang. Lalu turun ayat ini. “Kalau mereka tidak mau berangkat, kamu saja yang berangkat”, kurang lebih demikian makna la tukallafu illa nafsaka.
Maka Nabi saw segera menyatakan, “Demi Allah, saya akan berangkat, walau sendirian”.
Dikisahkan saat berangkat ke Badar Ash Shakhra, Nabi hanya bersama 70 sahabat. Yang lain kena provokasi Nu”aim bin Mas’ud, sehingga tidak berangkat.
Ingat selalu ayat ini. La tukallafu illa nafsaka. Maknanya –membina adalah tugas saya. Tidak perlu peduli mereka yang tidak membina.
Kalaupun yang lain tidak menbina, saya akab tetap menbina. Karena — La tukallafu illa nafsaka.
Jangan salah mengambil pelajaran. Ada orang yang iri kepada keburukan, misalnya ungkaoan “Dia saja tidak membina, ngapain saya membina”.
Kelima,
Saat ini sudah sangat banyak motivasi membina. Tinggal aksi saja.
Jangan terlalu banyak agenda motivasi. Tapi perbanyak agenda aksi.
Saatnya gumregah…!