Namun, plot twist terjadi di bilik suara dan papan penghitungan suara, suara Amien Rais hanya 14,66% menempati posisi ke-4 jauh dibawah SBY (33,57%), Megawati (26,61%), dan Wiranto (22,15%). SBY lalu menjadi presiden setelah di putaran ke-2 mendapatkan tambahan dukungan dari PKS dan beberapa partai lainnya. Suaranya naik signifikan menjdadi 60,62%.
Itulah yang dimaksud oleh Eep sebagai Amien Rais Syndrome: Ramai di Lapangan namun sepi di bilik suara.
Ramai di lapangan bisa jadi karena pemilih yang militan, sehingga bisa hadir meluangkan waktu meski harus mengorbankan hari liburnya. Bisa jadi juga karena uang transport atau hadiah doorprize yang akan diundi. Jadi ramai di lapangan tidak serta merta membuktikan akan ramai pula di kertas suara.
Eep melihat bahwa gejala Amien Rais Syndrome itu mulai terlihat dalam kampanye Anies Baswedan dan PKS. Selalu ramai dalam kampanye umum. Jangan sampai ramainya kampanye umum tersebut membuat terlena dan merasa seolah-olah sudah akan memenangkan pemilu. Kita harus tetap waspada.
Eep berpesan, yang dibutuhkan sekarang adalah barisan, bukan kerumunan.
Eep mengatakan untuk memenangkan Pemilu, PKS dan Anies Baswedan harus lebih fokus dalam membuat barisan dan struktur yang rapi bahkan sampai tingkat TPS. Dan jangan terlena dengan banyaknya masa yang hadir dalam kampanye atau kegiatan umum. Jangan sampai Amien Rais Syndrome akan terulang di 2024.***